Jangankan dunia atau Asia, bahkan Asia Tenggara sekalipun kita tak mampu berbuat sesuai ekspektasi dan sebagaimana mestinya.
Kutipan tersebut hanya andai-andai, sama seperti andai-andai bila menjadi Ketua PSSI sebuah profesi populer setelah Presiden dan Gubernur DKI. Bicara Piala Dunia sangatlah jauh, ibarat harus menata ulang untuk awal yang lebih baik sepakbola kita harus memulainya dari minus bukan nol lagi.
Jangankan dunia atau Asia, bahkan Asia Tenggara sekalipun kita tak mampu berbuat sesuai ekspektasi dan sebagaimana mestinya, kisruh yang entah di mana ujungnya ini merugikan banyak pihak, baik di federasi kedua kubu yang bertikai.
Pemain timnas yang harus menjadi korban, dibenak para pemain mereka tidak lagi berpikir apakah legal atau ilegal keberadaan mereka di timnas yang mereka bela saat ini. Istilahnya "asalkan bos senang" apapun akan mereka lakukan.
Situasi kisruh seperti ini juga merugikan pecinta timnas. Kalau diperhatikan, sejak kekalahan Indonesia di final Sea Games dukungan publik mulai menurun, bukannya mau menyebut bahwa ada suporter propemain IPL atau ISL, namun itulah kenyataan yang ada. Timnas kekurangan dukungan euforia yang didapat setelah Piala Asia 2007 & Piala AFF 2010 seolah hilang tak berbekas.
Jika harus berandai-andai menjadi Ketua PSSI, Saya bukanlah aktor utama pastinya. Orang dengan nafsu kekuasaan lebih besar tidak mau turun langsung. Dia pasti menggunakan boneka untuk 'permainan' yang dia mau.
Tidak perlu jauh-jauh, Ketua PSSI sebelum Djohar Arifin adalah Nurdin Halid namun kini tak terdengar lagi suara atau komentar dari Nurdin Halid atas keadaan dualisme saat ini, yang terus ada justru dalang dari Nurdin Halid terdahulu, bukan?
Sejujurnya ingin rasanya berbuat sesuatu demi perubahan sepakbola Indonesia yang lebih baik, namun kembali lagi "Siapa Saya dan bisa apa Saya?".
Dahulu orang berkata sepakbola Indonesia adalah macan Asia, itu adalah persepsi atau opini berdasarkan penglihatan semata bukan berdasarkan data.
Jika dahulu kita macan Asia, mengapa timnas kita baru lolos Piala Asia di tahun 1996, sedangkan Piala Asia sudah ada sejak 1956 dan bangsa kita terlalu terjebak dalam nostalgia. Mereka membanggakan menahan imbang Uni Soviet adalah prestasi besar, namun mereka lupa bahwa setelah pertandingan imbang tersebut ada pertandingan 'ulang' yang kejadiaannya Indonesia harus mengakui keunggulan lawan.
Saya bukan menebar pesimisme, namun saya tidak mau memberikan fatarmogana atas sebuah kenyataan yang tak seindah cerita, bahwa timnas Kita dari dahulu sampai sekarang tidak banyak ada perubahan yang dapat dibuktikan dengan sebuah hasil akhir bernama gelar juara bukan dari cerita nyaris yang selalu dikenang manis.
Ketua PSSI hanya bersemangat mengatasnamakan perubahan menghidupkan sepakbola, namun hal itu tidak cukup. "Sepakbolakan Hidup" lebih penting seperti semangat Ir.Soeratin Sosrosoegondo pendiri PSSI menjadikan orrganisasi ini sebagai persatuan bangsa demi mengusir penjajah.
Menjadi Ketua PSSI seharusnya adalah tugas mulia, sama seperti sejarah berdirinya PSSI yang tujuannya amat mulia, namun sekarang PSSI digunakan untuk perebutan demi keuntungan golongan masing-masing, yang satu memang benar bergelar Profesor dan satu lagi memproklamirkan diri sebagai "Penyelamat".
Tujuan PSSI harusnya jelas, membawa nama sepakbola Indonesia dimana seharusnya berada untuk terus berkembang bukan jalan di tempat.
Jika dipercaya menjadi Ketua PSSI dalam dunia nyata yang jelas. Saya tidak akan mengumbar janji bahwa timnas kita akan ke Piala Dunia dalam waktu sekian atau kembali menjadi macan Asia seperti kata kebanyakan orang, tapi bagaimana saya akan "Berpikir Realistis, Bersikap Optimis" dan berusaha menjadi panutan dalam rangka perubahan, bukan semata hanya untuk sepakbola, lebih luas lagi kehormatan bangsa di mata dunia karena sepakbola diibaratkan pedang, yaitu alat yang bisa dipermainkan oleh siapa saja bagi mereka yang mempunyai tahta.
Jika pemegang pedang yang mempunyai tahta itu benar-benar tulus menjalankan amanah, pedang bernama sepakbola itu pasti akan digunakan demi kepentingan orang banyak. Sebaliknya jika hanya demi kepentingan kelompok maka pedang tersebut rela menebas siapa saja yang bukan termasuk dalam golongannya.
Sekali lagi itu hanya andai-andai yang senyatanya hanya ada di dalam mimpi, namun selagi mimpi itu gratis mengapa tidak terus digunakan untuk menjadi kenyataan yang sesuai harapan sebagaimana kita harus selalu bersikap optimis.
Salam penuh harapan untuk sepakbola kita!
SUMBER
0 komentar :
Posting Komentar