Sungguh ironis karena memilih skuat terbaik Indonesia untuk AFF Cup 2012 yang digelar bulan depan bukan lagi perkara gampang.
Dalam situasi normal, menyusun skuat impian
timnas Indonesia untuk diterjunkan ke AFF Suzuki Cup 2012 merupakan
salah satu kegiatan di waktu luang yang digemari para suporter, tak
ubahnya seperti menyusun tim terbaik liga-liga Eropa.
Namun, dengan kondisi kekisruhan internal organisasi PSSI yang masih berlangsung hingga sekarang ini, memilih para pemain yang diberangkatkan ke AFF Cup merupakan kutukan setiap pelatih. Dengan kekisruhan itu, muncul kekhawatiran kontingen Indonesia untuk turnamen sepakbola antarnegara Asia Tenggara paling bergengsi itu bukan merupakan tim terbaik. Imbasnya, sejumlah suporter menjauh karena muak dan emoh memantau lagi tim yang pernah mereka banggakan.
Registrasi 35 nama pemain skuat bayangan tim perseta fase grup AFF Cup harus didaftarkan 30 pemain sebelum kick-off turnamen atau 26 Oktober nanti. Artinya, PSSI yang diserahi mandat menjalankan otoritas sepakbola di negeri yang terkenal dengan budaya gotong-royong ini harus memberikan daftar 35 pemain terbaiknya untuk turnamen. Daftar ini akan disaring menjadi 22 nama satu hari sebelum turnamen dimulai, 24 dan 25 November.
Hingga tulisan ini dibuat, harmonisasi timnas masih menjadi sekadar wacana di meja perundingan Joint Committee, beranggotakan wakil PSSI dan KPSI sebagai pihak yang berseteru, dan AFC. Masalah harmonisasi menjadi demikian pelik ketika muncul surat yang mempersoalkan keabsahan sejumlah klub peserta liga tertentu, ultimatum Semen Padang menarik para pemainnya dari timnas, dan keengganan kedua pihak berkompromi.
Kompromi diperlukan dalam iklim demokrasi. Kompromi diperlukan pula dalam bernegosiasi. Kompromi mutlak hadir saat muncul ancaman konflik. Dalam ketidakjelasan seperti saat ini, kompromi diperlukan supaya Indonesia memberangkatkan tim terbaiknya berangkat ke Kuala Lumpur bulan depan. Beberapa cara seleksi tim masih mungkin dilakukan sebelum tenggat waktu registrasi pemain. Sebelum semuanya terlambat, otoritas sepakbola Indonesia harus mengabaikan arogansi dan menanggalkan taktik perang wacana nasionalisme di media.
Namun, dengan kondisi kekisruhan internal organisasi PSSI yang masih berlangsung hingga sekarang ini, memilih para pemain yang diberangkatkan ke AFF Cup merupakan kutukan setiap pelatih. Dengan kekisruhan itu, muncul kekhawatiran kontingen Indonesia untuk turnamen sepakbola antarnegara Asia Tenggara paling bergengsi itu bukan merupakan tim terbaik. Imbasnya, sejumlah suporter menjauh karena muak dan emoh memantau lagi tim yang pernah mereka banggakan.
Registrasi 35 nama pemain skuat bayangan tim perseta fase grup AFF Cup harus didaftarkan 30 pemain sebelum kick-off turnamen atau 26 Oktober nanti. Artinya, PSSI yang diserahi mandat menjalankan otoritas sepakbola di negeri yang terkenal dengan budaya gotong-royong ini harus memberikan daftar 35 pemain terbaiknya untuk turnamen. Daftar ini akan disaring menjadi 22 nama satu hari sebelum turnamen dimulai, 24 dan 25 November.
Hingga tulisan ini dibuat, harmonisasi timnas masih menjadi sekadar wacana di meja perundingan Joint Committee, beranggotakan wakil PSSI dan KPSI sebagai pihak yang berseteru, dan AFC. Masalah harmonisasi menjadi demikian pelik ketika muncul surat yang mempersoalkan keabsahan sejumlah klub peserta liga tertentu, ultimatum Semen Padang menarik para pemainnya dari timnas, dan keengganan kedua pihak berkompromi.
Kompromi diperlukan dalam iklim demokrasi. Kompromi diperlukan pula dalam bernegosiasi. Kompromi mutlak hadir saat muncul ancaman konflik. Dalam ketidakjelasan seperti saat ini, kompromi diperlukan supaya Indonesia memberangkatkan tim terbaiknya berangkat ke Kuala Lumpur bulan depan. Beberapa cara seleksi tim masih mungkin dilakukan sebelum tenggat waktu registrasi pemain. Sebelum semuanya terlambat, otoritas sepakbola Indonesia harus mengabaikan arogansi dan menanggalkan taktik perang wacana nasionalisme di media.
0 komentar :
Posting Komentar